Bolehkah Berkurban.untuk si mayit

 Bolehkah niatan qurban untuk orang yang telah meninggal dunia?


Ada dua pendapat dalam hal ini yaitu yang membolehkan secara mutlak dan yang membolehkan jika ada wasiat.


Imam Nawawi rahimahullah berkata,


Tidak ada pengorbanan atas nama orang lain tanpa izinnya, atau atas nama orang mati jika dia tidak merekomendasikannya.


“Tidak sah qurban untuk orang biasa selain dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk may it jika dia tidak memberi wasiat untuk qurban tersebut.” [1]


Dalil dari pendapat ini adala firman Allah Ta'ala ,


dan pria itu tidak memiliki apa-apa selain apa yang dia perjuangkan


“ Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh kecuali apa yang telah diusahakannya .” (QS. An-Najm: 39). [2]


Pendapat yang sama dinyatakan pula oleh penulis Kifayah Al-Akhyar , Muhammad bin 'Abdul Mu'min Al-Hishni, di mana ia berkata,


Tidak boleh atas nama almarhum kecuali mewariskannya.


“Tidak boleh qurban itu diniatkan di atas nama mayit menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat ulama Syafi’iyah. Dibolehkan Hanya ketika ada wasiat.” [3]


Namun, ada pendapat lain yang dinukil dalam Al-Majmu' ,


Jika dia berkurban atas nama orang lain tanpa izinnya, itu tidak jatuh pada namanya (dan untuk) kurban atas nama orang mati, Abu Al-Hassan Al-Abadi membuat pernyataan. Zaha, karena itu adalah tipe sedekah, dan sedekah itu sah atas nama orang mati dan bermanfaat, dan dihubungkan dengannya secara bulat.


“Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu Al-Hasan Al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah. Padahal, sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai dia menetapkan ketetapan ijmak para ulama.” [4]


Di kalangan mazhab Syafii sendiri pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih sahih ( ashah ) dan dianut olehita mayors ulama dari kalangan mazhab Syafii. Pendapat kedua adalah pendapat mayoritas ulama madzhab sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedia Fikih ,


 Jika almarhum mewariskan kurban atas namanya, atau membuat hibah untuk itu, itu diperbolehkan dengan kesepakatan. Jika itu wajib dengan sumpah atau tidak, ahli waris harus memaksakannya. Namun jika ahli waris atau orang lain ingin berkurban atas namanya dari uangnya sendiri, Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa boleh berkurban atas namanya, tetapi Maliki mengizinkannya dengan ketidaksukaan. . Sebaliknya, mereka mengizinkannya karena kematian tidak menghalangi kedekatan dengan almarhum, seperti dalam amal dan haji.


“Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk qurban kemudian ahli waris atau orang lain menunaikan qurban orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri, maka menurut pendapat dalam madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hambali memperbolehkannya. Hanya saja menurut mazhab Malikiyyah boleh, tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji.”[5]


Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ penah diajukan pertanyaan, “Bolehkah niatan qurban untuk mayit?”


Jawaban para ulama Al-Lajnah, “Para ulama sepakat, hal itu masih disyariatkan karena sisi asalnya termasuk sedekah jariyah. Sehingga boleh berniat qurban untuk mayit. Dalil yang melatarbelakangi hal ini adalah hadits umum,


إِذَا مَاتَ اِبْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ


“Jika manusia meninggal dunia, maka amalannya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak shalih yang selalu mendoakan orang tuanya.”[6]


Berqurban atas nama orang yang telah meninggal dunia termasuk bagian dari sedekah jariyah. Di dalamnya terdapat manfaat untuk orang yang berqurban, untuk mayit dan yang lainnya.[7]


Semoga menjadi ilmu yang manfaat.


 


Catatan kaki:


[1] Minhaj Ath-Thalibin, 3:333.


[2] Mughni Al-Muhtaj, 4:390.


[3] Kifayah Al-Akhyar, hlm. 579.


[4] Lihat Al-Majmu’, 8:406.


[5] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 5:106-107.


[6] HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i, Al-Bukhari dalam Adab Al-Mufrad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.


[7] Pertanyaan nomor dua, dari fatwa nomor 1474, ditandatangani oleh ketua Al-Lajnah saat itu: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz.

Komentar